Jabal Ghafur dan Sisa Budaya Lama

HINGGA usia keberadaan Prof BI Ansari MPd sebagai rektor Universitas Jabal Ghafur memasuki lebih dua bulanan, publik dan pemerhati pendidikan di Kabupaten Pidie masih pula dihentak keluhan mahasiswa melalui ruang-ruang SMS pembaca koran-koran terbitan Aceh menyangkut dosen yang suka telat datang.

Barangkali memang berlebihan bila hendak membandingkan Jabal Ghafur dengan Universitas Oxford Inggris, Universitas Kyoto Jepang, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniri Banda Aceh serta Universitas Malikul Saleh Lhokseumawe.

“Tapi,” kata Faisal Zain, mantan aktivis referendum Aceh yang memiliki perhatian terhadap dunia kependidikan di Pidie, “apa sebenarnya yang paling subtansial pembeda antara semua lembaga pendidikan tinggi itu dengan Jabal Ghafur? Saya kira tak ada, kecuali pada kedisiplinan di tataran lembaga dan kepengajaran. Yang lain cuma soal teknis dan usia.”

Menurut Faisal, bila mengambil Jabal Ghafur di posisi rendah dalam perbandingan dengan universitas-universitas hebat di atas berdasarkan negara, usia, popularitas dan status, itu bukan sistem perbandingan yang proporsional dan samasekali tidak bermental ilmiah berwawasan pergerakan dan pembaharuan.

“Kita tidak selamanya harus memainkan apologi yang mendukung dan melegitimasi kekurangan dan kelemahan diri. Itu mental pecundang, tak layak diakomodir oleh sebuah lembaga pendidikan tinggi,” tegas pemerhati yang juga Sekretaris Umum Partai SIRA Pidie ini.

Lagi pula, sambung lelaki berusia 30 tahun itu, di tubuh universitas yang berkampus di Glee Gapui, Mila, Pidie melekat tanggung jawab misi dan risalah perjuangan intelektual akademik masyarakat Kabupaten Pidie, Pidie Jaya dan bahkan beberpa persen untuk kabupaten lain seperti Bireuen, Aceh Utara dan Aceh Timur karena sekian banyak mahasiswa/mahasiswi Jabal Ghafur berasal dari daerah-daerah tersebut.

“Mengadopsi berbagai rumus pembenaran agar aman dan nyaman di posisi terendah yang seperti itu, bisa dikatakan itu benar-benar mental yang zalim untuk sebuah lembaga akademika yang berefek kepada kemunduran terus-menerus suatu komunitas, kaum dan bangsa yang mempercayai lembaga pendidikan tersebut sebagai sumber pencerahan masa depan,” tegas Faisal.

Pria kelahiran Gampong Peukan Sot, Simpang Tiga, Pidie, ini yakin bila semua pihak di ruang lingkup yayasan, Pemda Pidie dan pihak-piha lainnya yang terkait, memiliki niat cemerlang untuk memperjuangkan Jabal Ghafur sebagai sebauah lembaga pendidikan tinggi yang brilian, pasti akan mampu.

“Yang pertama kita lihat saja dulu pada tingkat antusiasme masyarakat Pidie dan Pidie Jaya serta daerah-daerah lainnya yang mempercayai anak-anaknya kuliah di Glee Gapui. Itu modal utama. Selebihnya terserah kita mau dibawa ke mana universitas yang sarat nilai dobrakan ini,” lanjutnya.

Dan untuk mengawali itu semua, kata Faisal, perkara dosen telat masuk yang dulunya sudah menjadi bagian dari budaya keseharian di Glee Gapui, hendaknya sudah dapat diakhiri sesegera mungkin.[]



Musmarwan Abdullah

Comments

Popular Posts